Segenggam Terima Kasih dan Sekerat Doa untuk Pegadaian

Segenggam Terima Kasih dan Sekerat Doa untuk Pegadaian
Image: Langit Amaravati

Saya memandang dua keping uang logam di telapak tangan, memandang toples susu Aksa yang hanya tersisa 5 sendok takar, mengingat segenggam beras di dapur yang sebentar lagi akan saya masak menjadi bubur. Empat ratus rupiah itulah seluruh uang saya miliki. Tak ada sisa di celengan, tak pula di rekening bank.

Tak ada yang lebih menyesakkan bagi seorang ibu selain ketika anaknya terancam kelaparan.

Saat itu, di penghujung bulan April yang begitu suram, dengan wajah yang dibuat sesemringah mungkin saya mengajak Aksa, anak saya, bermain di pekarangan. Agar ia tak lekas lapar, sengaja saya membawa segelas air putih, sebentar-sebentar menawarinya minum. Sementara perut saya sendiri terus meronta-ronta karena sudah dua hari hanya diisi secangkir kopi dan berliter-liter air.

Pada saat-saat getir seperti itu, setiap orang pasti berpikir untuk meminjam uang. Tapi bagi saya, meminjam kepada saudara atau kawan atau tetangga sama saja dengan menggali lubang pemakaman sendiri karena saya tidak pernah tahu akan bisa membayarnya atau tidak. Lagi pula, tetangga dan saudara saya bukan orang-orang yang memiliki kelebihan rezeki, meminjam kepada mereka layaknya memotong tangan saudara sendiri.

Sempat pula terpikir untuk meminjam kepada teman adik saya, tentu saja dengan bunga yang tidak sedikit. Bunga 20 ribu dari pinjaman 100 ribu, 20% yang mencekik leher. Untungnya waktu itu pulsa dan paket data saya sedang habis sehingga tidak bisa menghubungi adik untuk meminjam uang “setan” dari temannya.


Lentera Pertolongan

Lentera Pertolongan

Waktu terus bertiktak-tiktak. Siang itu saya memberi Aksa makan bubur dan memberinya susu hingga ia tertidur. Ketika saya masih bingung, Ibu Kos sudah berdiri di depan pintu kamar, tentu saja dengan satu tujuan: menagih uang kos yang sudah menunggak dua bulan.

Dengan terbata, dengan dagu menempel di dada, kembali saya meminta keringanan, meminta agar batas waktu pembayaran diundurkan. Saya tahu beliau kesal, tapi saya juga tahu bahwa hatinya sedemikian besar hingga tak sampai mengusir kami.

Gegas, saya membongkar lemari, mencari barang-barang yang bisa dijual, barang-barang elektronik yang saya dapatkan dari hadiah lomba blog. Ada 1 PC mini dan satu smartphone. Dengan berat hati, saya memilih smartphone yang tadinya akan dijadikan hadiah kelulusan putri saya karena saya pikir lebih mudah menjual smartphone daripada PC.

Saya memangkas rasa malu, meminjam uang dari Ibu Kos untuk ongkos ke Bandung Electronic Center (BEC). Lalu berangkatlah saya setelah sebelumnya menitipkan Aksa di rumah pengasuhnya. Ketika sampai di depan gang, pandangan saya tertumbuk ke seberang jalan, kepada sebuah bangunan kecil yang diberi plang “pegadaian”. Sepanjang tinggal di Gang Eman, baru kali itulah saya ngeh bahwa ada pegadaian di depan gang. Saya pun berubah pikiran dari yang tadinya berniat menjual jadi menggadaikan.

Ragu-ragu, saya masuk dan menghampiri konter. Itu kali pertama saya berurusan dengan Pegadaian, karena setahu saya yang bisa digadaikan hanya emas dan surat-surat berharga semacam BPKB atau akta tanah.

“Kang, punten, mau nanya dulu. Kalau handphone bisa digadaikan?” tanya saya kepada petugas konter sambil mengangsurkan smartphone yang terbungkus kresek.

“Bisa, Teh. Tapi mungkin harganya harus disesuaikan dengan jenis handphone-nya. Ini baru?” jawab petugas konter itu, lelaki muda berpakaian rapi.

Saya mengembuskan napas lega, setidaknya smartphone untuk hadiah ini masih bisa “diselamatkan”, “Nggak apa-apa, Kang. Saya mau minjem 350 ribu aja. Iya, ini handphone baru. Tuh lihat, masih disegel.”

Pertama-tama, kotak smartphone yang saya bawa dibuka dan dinyalakan untuk melihat apakah berfungsi atau tidak. Lalu harganya ditaksir, maksudnya disesuaikan antara jumlah pinjaman yang saya ajukan dengan penawaran dari pihak pegadaian. Berbeda dengan gadai emas yang harganya cenderung stabil, menggadaikan elektronik ternyata memang disesuaikan dengan tipe dan jenis elektronik yang kita gadaikan.

TAGS: Personal
Langit Amaravati

Langit Amaravati

Web developer, graphic designer, techno blogger.

Suka dengan artikel-artikel di blog ini dan merasa mendapatkan manfaatnya? Dukung saya dengan mentraktir kopi. Dengan dukungan Anda, saya dapat terus menulis dan berkarya.

Hatur nuhun!

Traktir Kopi

Comments