Akhirnya Saya Menyerah pada Huruf Miring

Akhirnya saya menyerah pada huruf miring
Image: generated with AI

Saya sudah menulis sejak kelas 6 SD. Itu berarti 30 tahun lalu. Dan selama 30 tahun ini saya tidak pernah abai pada tanda baca atau tata bahasa. Walau di beberapa tulisan pasti ada salah eja atau salah ketik, tetapi percayalah bahwa itu tidak disengaja.

Namun, semua itu berubah hari ini.

Ya, secara sadar saya akan mengabaikan PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia). Uda Ivan Lanin pasti menangis membaca ini.

Begini, tulisan-tulisan bertema teknologi apalagi programming pasti berisi istilah-istilah asing. Menurut PUEBI, istilah-istilah asing yang belum ada padanan katanya dalam bahasa Indonesia harus ditulis miring.

Namun, ada tiga masalah di sini:

  1. Rancu

    Meski beberapa istilah teknologi sudah ada padanan katanya, kata tersebut sedemikian rancu hingga tidak komunikatif. Sebagai contoh, “tetikus”, manusia macam apa yang menggunakan istilah “tetikus” untuk menyebut mouse?

    Dalam konteks programming, ada pula “library” yang diterjemahkan menjadi “pustaka” dan “framework” yang diterjemahkan sebagai “kerangka kerja”. Please atuh laaahhh.

  2. Tidak semua istilah teknologi perlu diterjemahkan

    Saya: Kew, untuk mengelola basis data, pakai apaan bagusnya?
    Akew: Basis data naon?
    Saya: Basis data di website. Pakai Postgre atau SQL? Gue enggak ngerti kalau MongoDB.
    Akew: Itu mah DATABASE, anj***! *Akew pun esmosi

    Baku hantam saya dan Akew saat membicarakan istilah “database” memang bukan salah siapa-siapa. Tapi itu juga membuktikan bahwa bahkan sesama programmer pun bisa roaming.

    Sebetulnya, saya memiliki prinsip bahwa TIDAK SEMUA ISTILAH TEKNOLOGI PERLU DITERJEMAHKAN. Apa, sih, tujuan kita menulis dan berbicara? Untuk berkomunikasi, bukan? Lalu apa tujuan komunikasi? Menyampaikan pesan dari komunikator kepada komunikan agar pesan tersebut dapat dimengerti dan mendapatkan timbal balik.

    Istilah teknologi ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa ini merupakan bahasa internasional, juga menjadi bahasa asing pertama yang diajarkan bahkan di tingkat dasar. Tidak sulit memahaminya, pun karena kita sudah terbiasa.

    Sebaliknya, padanan atau terjemahan istilah teknologi ke dalam bahasa Indonesia baru ditambahkan kemudian sehingga tidak terasa familiar. Contohnya “peramban”, sebut saja “browser” kenapa, sih?

    Apalagi dalam programming yang notabene kami para programmer memang menulis kode dalam bahasa Inggris. Ngapain diterjemahkan segala?

  3. Jadi huruf miring semua

    Bermula ketika saya menulis tutorial ngoding. Kebanyakan istilah yang diperlukan tidak ada padanan katanya, kalaupun ada akan rancu. Alhasil, tulisan saya jadi miring semua.

    Selain kesal karena tampilan jadi kurang rapi, hal itu juga akan berpengaruh terhadap readability. Alias, tulisan jadi lebih sulit dibaca, apalagi di dalam layar.


Maka setelah ngomel-ngomel, saya pun memutuskan untuk tidak lagi menulis miring istilah-istilah asing. Setelah menjadi aktivis ngoding barbar, sekarang jadi aktivis nulis barbar pula. Maafkan hamba! 🙇‍♀️

Jadi, bila suatu saat Anda berkunjung kemari dan mendapati istilah-istilah asing yang tidak ditulis miring, itu memang disengaja dan tolong maafkan saya. (eL)

TAGS: Personal
Langit Amaravati

Langit Amaravati

Web developer, graphic designer, techno blogger.

Suka dengan artikel-artikel di blog ini dan merasa mendapatkan manfaatnya? Dukung saya dengan mentraktir kopi. Dengan dukungan Anda, saya dapat terus menulis dan berkarya.

Hatur nuhun!

Traktir Kopi